online advertising NO PAIN, NO GAIN: Lafadz 'Am dan Lafadz Khash

Wikipedia

Hasil penelusuran

order now

Selasa, 24 Desember 2013

Lafadz 'Am dan Lafadz Khash

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Ulumul Qur’an adalah sekumpulan ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.  Untuk dapat memahami kalam Allah, sejalan dengan penjelasan Rasulullah saw, serta pendapat yang dikutip sahabat, dan tabi’in dari Nabi tentang kandungan al-Qur’an maka Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah ‘am dan khash serta takhsis.
BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian ‘Am dan Khash
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah “LAFADH yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “.Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Khas adalah “Isim Fail” yang berasal dari kata kerja :
حَصَصَ, يُخْصِّصُ, يُخَصِيصاً, خاَصِّ
Artinya :
“yang mengkususkan atau menentukan”
Para Ulama Ushul fiqh berbeda pendapat dalm mendefinisikan khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama yaitu Khash merupakan suatu lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
B.     Bentuk Lafadz ‘Am dan Khash
  Adapun bentuk- benuk lafadz yang mengandung arti ‘amdalam bahasa Arab banyak sekali, di antaranya adalah:
       a.    Lafadz  كل  (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ:
           Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
          Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
        b.    Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya.  Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
           Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi  orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
         c.    Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
           Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27) Lafadz  al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
    d.     Lafadz   Asma’ al-Mawsul. Seperti ma, al-ladhina, al-ladzi dan sebagainya.
Salah satu contoh adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
       Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api  sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
   e.    Lafadz  Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya.
 Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
      Artinya : “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92) 
   f.    Isim nakirah dalam susunan kalimat naïf  (negatif), seperti kata  لَا جُنَاحَ dalam
ayat berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
     Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).[3]
                  Dengan demikian semua lafadz- lafadz tersebut ditetapkan dalam bahasa dengan suatu ketetapan yang hakiki untuk menunjukkan pada seluruh satuan – satuannya.

Sedangkan  lafal khas bentuknya ada beberapa macam diantaranya:
-  Berbentuk muthlak yaitu lafal khas yang tidak ditentukan      dengan sesuatu.Contohnya, hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
-  Berbentuk khas(muqoyyad) lafal khas yang ditentukan dengan sesuatu.Contohnya, masalah bersuci.
-  Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar,dan hukumnya wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
-  Berbentuk nahiy yaitu mengandug arti larangan dan hukumnya haram.

C.    Macam-macam Lafadz ‘Am
 1.      Umum Syumuliy
Yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur  ÇÊÈ
Artinya : Hai sekalian manusia, sertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri,  (Qs. A n-Ni.ssa’: 1)
Dalam Ayat ini seluruh manusia dituntut untuk sertakwa tanpa kecuali, maka lafaz yang seperti ini dinamakan umun Syumuliy.
2.      Umum Badaliy
Bagi suatu lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad (pribadi) seperti :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏBöNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sertakwa, (Q.S. Al-Baqarah 183)
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
Ø  Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah :
 $tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÇÏÈ



Artinya :
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”, (Qs. Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu dialahnya qath'I yang tidak rneneriniaTakhsis
Ø  Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah :

3 ¬!ur n?tã Ä¨$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# ÇÒÐÈ
Artinya :
“…………mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah(Q.S Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil dan orang gila.
Ø  Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukan di Takhsis seperti dalam firman Allah :
Artinya :
وَاْلمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوُءٍ
“Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”
D.    Hukum Lafadz ‘Am, Khash dan Takhsis
Hukumnya antara lain :
1.       Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2.       Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3.       Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
4.       Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
5.       Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.


Referensi

 Syafi’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007

1 komentar: